Ada Mutiara di Kuburan Dua

    Ada Mutiara di Kuburan Dua
    Yunzar Lubis

    LUBUK SIKAPING, — Bertolak dari Bandara Internasional Minangkabau, Padang, bergerak arah ke Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara.

    Sampai di Kayu Tanam, patut kita merenung sejenak. Mengenang Muhammad Syafei. Beliau mendirikan sekolah yang dikenal dan terkenal dengan nama “INS”, Indonesisch Nederlansche School di Kayu Tanam. Suatu lembaga pendidikan swasta yang melawan model pendidikan Belanda.

    Mohammad Syafei mendirikan sekolah dengan metode ajarnya sendiri, agar kecerdasan siswa yang diproses di INS, menyalakan “jiwa anak negeri” melawan penjajah. Muhammad Syafei berpandangan bahwa: orang cerdas tak rela dijajah.

    Sampai di Bukittinggi, sempatkan jugalah melihat patung Muhammad Hatta di seputaran objek wisata Jam Gadang. Muhammad Hatta bersekolah di sekolah Belanda, dari sekolah Belanda yang ada di Bukittinggi sampai sekolah Belanda di negeri Belanda. Tetapi beliau melawan Belanda. Tidak menjadi bayang-bayang Belanda. Hebat, berprinsip,   tetap menjadi dirinya sendiri sebagai putra Indonesia.

    Selanjutnya, kita akan melewati Palupuh, Patapaian, Simpang Patai.  Daerah ini menjadi area perang pejuang kita yang tergabung dalam pasukan mobrig melawan agresi II militer Belanda, yang dikenal dengan Front Palupuh, berkecamuk dari Januari 1949 – Agustus 1949.

    Jika sampai di Pasia Laweh, sebelum Patapaian, ada tugu. Tugu peringatan perjuangan Front Palupuh. Tugu yang memancarkan pesan: generasi berganti adalah alamiah,   tetapi jangan sekalipun melupakan sejarah.

    Setelah melewati Simpang Patai, tidak seberapa kilo lagi, nampaklah pintu gerbang, ” Selamat Datang di Pasaman”. Masuk Kumpulan.

    Selanjutnta kita akan sampai di kampungnya Peto Syarif, kampungnya Tuanku Imam Bonjol, pemimpin besar perang padri. Lahir dan berjuang melawan Belanda di Bonjol,   Land of The Equator.

    Bonjol ! Ada garis equator memotong Sumatera.Sekarang menjadi perhatian Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman untuk menjadikannya sebagai icon wisata, “Land of The Equator”, ya, “Tanah Equator” untuk Sumatera !

    Terkait hal membangun “icon wisata”  tersebut, menurut banyak ahli dan literatur, dapat disimpul bagai berkebun. Maka, jika ingin mengomentari Pemkab Pasaman terkait semangatnya membangun Bonjol sebagai icon wisata, perhatikan sungguhlah seorang petani berkebun kopi.

    Pada mulanya, Petani mencari potensi. Setelah cocok antara kepaduan letak,   jenis tanah, dan hal-hal lain sebagai potensi untuk kebun kopi, mulailah menebas tumbuhan kecilnya. Jika langsung menebang kayu-kayu besarnya, gila itu ! Lebih gila lagi jika langsung menanam kopinya.

    Banyak tahapan yang dikerjakan, baru kopinya mulai hidup, berkembang, dan berbuah. Buahnya pun, tidak akan langsung  banyak dan menguntungkan! Tetapi berlahan seiring perkembangan pohonnya.

    Jika tak dimulai dari langkah awal, takkan pernah menanam kopi. Jika tak dimulai menanam kopi, sampai di pinggir akhirat pun, tak kan pernah memanen kopi.

    Jadi, jika tak memahami cara berkebun kopi, sadari sajalah, tak layak untuk mengomentari negatif tentang giat-gerakan  Pemkab Pasaman membangun Bonjol, — Land Of The Equator, — untuk icon wisata di Pasaman.

    Nasehat literasi cerdas,   baca sajalah sejarah dan proses panjang Bali, Taj Mahal, Piramida – Mesir dan lainnya;  yang sekarang, telah menjadi objek tujuan wisata dunia. Tak ada yang langsung jadi, semuanya memiliki proses panjang. Jika tak dimulai, takkan pernah jadi !

    Bergerak dari Bonjol. Jalan berliku akan memapah kita sampai di Lubuk Sikaping, bapak kota Kabupaten Pasaman.

    Tiga puluh kilo meter dari Lubuk Sikaping, kita akan sampai di Panti. Ada  bundarannya, dihiasi patung dua harimau dengan seorang pesilat. Berbeloklah ke kiri, menuju Dua Koto.

    Sekitar  6 km dati tugu, sampailah kita ke Belok Patah. Bolehlah dikatakan, area Belok Patah, termasuk area batas antara Panti dengan Dua Koto.

    Dahulu,   jika orang Cubadak-Simpang Tonang hendak ke Panti atau sebaliknya,   masih berjalan kaki. Pada zaman tersebut, Kuburan Dua sangat di kenal, tetapi tidak pernah dikeramatkan.

    Walaupun tidak dikeramatkan, penemuan kuburan tersebut, melahirkan cerita rakyat. Kuburannya adalah fakta, ceritanya yang fiksi.

    Sayangnya, akibat perluasan badan jalan atau erosi, gundukan tanah yang dianggap kuburan tersebut, sekarang,   tidak ada lagi; yang ada, tinggal ceritanya. Cerita : Kuburan Dua.

    Ceritanya, bersesusian dengan perbedaan bahasa antara Panti dengan Cubadak – Simpang Tonang. Masyarakat di daerah Panti berbahasa Minang; di daerah Cubadak-Simpang Tonang, berbahasa Mandahiling.

    Singkat ceritanya, ada dua orang pemburu yang berbeda bahasa,   Mingangkabau dengan Mandahiling.  Pada mulanya mereka berburu sendiri-sendiri, satu datang dari Panti. Satunya lagi, dari Cubadak. Bertemu,   sama-sama mengejar seekor rusa yang sama.

    Sebelum bertegur-sapa satu sama lain, kiranya, mereka sama-sama yakin, bahwa dengan kekuatan berdua, sangat mudah menangkap rusa tersebut.

    Dengan perasaan adil, — tidak punya rasa curang, pemburu yang berbahasa Minangkabau mendahului usul pembagian. “Sakuduang di den/ sepotong untuk saya, sakuduang dek ang/ sepotong untuk kamu, kapalonyo kito bagi duo/ kepalanya kita bagi dua”, usulnya.

    Dengan perasaan adil tanpa rasa curang juga, pemburu yang berbahasa Mandahiling menjawab, “Inda ! Sabariba di au/ Tidak ! Separoh untuk saya, sabariba di ho/ separoh untuk kamu, uluna ita bokak dua/ kepalanya kita belah dua”, jawabnya.

    Entah karena ada pekaknya atau ucapan pemburu yang berbahasa Mandahiling tersebut tidak jelas, kata ” diho” dianggap pemburu yang berbahasa Minangkabau tersebut, dia dikatakan   “gilo”, — gila oleh pemburu yang berbahasa Mandahiling.

    Lantas pemburu yang berbahasa Minangkabau naik pitam, ” Ang kecean den gilo”, ucapnya sambil memukul pemburu yang berbahasa Mandahiling.

    ” Ulang, mancit/ Jangan, sakit!”, balas pemburu yang berbahasa Mandahiling. “Mintak diulang e pulo/ minta diulang pula, disabuiknyo pulo awak mancik/ disebutnya pula saya tikus”, balas pemburu yang berbahasa Minangkabau.

    Akhirnya mereka berkelahi. Sama-sama mati.

    Mayat mereka ditemukan oleh rombongan berjalan kaki, ditemukan dalam posisi saling menusuk. Rombongan tersebut menguburkan mereka dalam satu kuburan. Dua orang dalam satu kuburan. Kuburan Dua.

    Sejak hal itu, lokasi seputaran Belok Gadang, dikenal dengan “Kuburan Dua”.

    Salah satu hasil galian dalam cerita “Kuburan Dua” adalah betapa pentingnya “mengerti” ucapan orang seperti pengertian yang dimaksud si Pengucap. Betapa pentingnya “berucap” agar si Pendengar mengerti seperti pengertian yang diharapkan si Pengucap.

    Maka, kebesaran jiwa saling mengerti dan memahami adalah tali silaturrahim antar sesama kita !

    Ingat juga kata literasi,    “Menulis, sama dengan berucap. Membaca, sama dengan mendengar”.

    Itulah mutiaranya ! 

    sumatera barat
    Yunzar Lubis

    Yunzar Lubis

    Artikel Sebelumnya

    Menyongsong Pemilu 2024, Memahami Kemandirian...

    Artikel Berikutnya

    In Dubio Pro Reo, Syafei: Apakah Penangkapan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing
    Tony Rosyid: Ridwan Kamil Yang Jegal Anies
    Hendri Kampai: Harta Karun Indonesia, Jangan Sampai Jatuh ke Tangan yang Salah!

    Ikuti Kami